Sabtu, 14 Januari 2012

Bertahan Dalam Ketidakberdayaan

Lokasi: Tasikmalaya, Indonesia


Awalnya tidak kusadari bahwa tekanan darah tinggi yang mulai timbul sejak SMA (usia 16 tahun) akan berakibat fatal dan tak pernah berhenti menggerogoti tubuhku. Inipun akibat kesenanganku makan makanan enak tanpa peduli bahwa aku harus diet menjaga makananku.  Mungkin juga hipertensi dan diabetes yang kuderita merupakan penyakit keturunan dari orangtuaku.

Selama kuliah di fakultas Kedokteran Umum Universitas Trisakti Jakarta tidak kurasakan gejala apapun namun berat badanku bertambah terus hingga mencapai 110 kg, tentu saja akibat senang makan enak. Pernah suatu hari tatkala co ass di bagian Kebidanan  RS Fatmawati, karena terlalu bersemangat jaga malam (tentu saja makan malam bertambah kalau sedang jaga malam) dan menangani kasus-kasus yang menarik maka tekanan darahku mencapai 250/130 mmHg, segeralah aku disuruh istirahat oleh almarhum dosenku Dr. Sapulette dan aku langsung tidur di kamar co ass. Gaya hidupku terus berlangsung bahkan akupun tidak menyadari bahwa sudah kelebihan berat badan sehingga obesitas dan tak ada seorangpun yang dapat mengubah pola makanku, mungkin karena aku belum merasakan akibatnya secara langsung. Sampai akhirnya aku lulus dan diwisuda pada tahun 1985. Berat badanku paling turun 1- 2 kg lalu naik kembali kesemula, yach begitulah nafsu makanku selalu besar aku tak bisa mengekangnya. Aku juga sering lupa mengontrol tekanan darahku dan membiarkannya naik turun dengan obat-obatan penurun tekanan darah. Setelah menjadi dokter jaga di RSU Tasikmalaya yang pada tahun 1982 Gunung Galunggung meletus, Tasikmalaya membutuhkan bantuan tenaga medis dan FK Universitas Trisakti menjalin kerjasama dengan RSU Tasikmalaya, akhirnya aku menemukan jodohku di Tasikmalaya, orang Tasikmalaya yang penuh semangat dan vitalitas, seorang sarjana pendidikan bahasa Inggris yang waktu itu telah menjadi dosen Universitas Siliwangi hingga kini. 

Waktu itu aku ditempatkan di daerah terpencil di Kabupaten Tasikmalaya yaitu Panca Tengah. Dapat dibayangkan betapa sulitnya keadaan sewaktu kami menikah dan harus tinggal di pedesaan yang cukup jauh dengan jalan berkelok-kelok. Ditambah istriku mulai kuliah lagi di Yogyakarta dan akhirnya hamil anak pertama kami. Tugas dinaskupun dipindah ke Salopa tahun 1989 tempat yang lebih dekat kearah kota Tasikmalaya dan lahirlah Siska pada bulan Nopember 1989 yang selanjutnya harus dibawa-bawa ke Yogyakarta demi S3 yang harus diraih oleh ibunya. Tahun 1991 lahir Kevin dan 1995 lahir Tesa. Sementara itu keluarga ku memang suka makan enak dan pola makanku tidak berubah sama sekali. Tahun 1995 ada perdarahan di bola mataku dan dioperasi di Jakarta Eye Centre dengan laser.

Sampai suatu hari bulan Desember 1998, aku mengalami musibah kecelakaan mobil di jalan tol jagorawi, beruntung adikku datang menolong dari Jakarta, kakiku terasa berat melangkah namun  aku bersikeras untuk pulang ke Tasikmalaya tanpa menyadari apa yang terjadi akhirnya akupun dibawa ke RS Imanuel dengan gejala stroke dan diabetes. Berangsur-angsur kesehatanku pulih kembali dengan segala cara, fisioterapi, spa air hangat di Ciaterpun kujalani beberapa kali, segala usaha dengan kerja keras istriku yang selalu mendampingiku bahkan menyetir mobil sendiri, akhirnya aku dapat berjalan kembali dan bertugas di Rumah Bersalin Dewi Sartika. 

Dengan berbagai kegiatanku yang kujalani dengan penuh semangat seolah lupa akan darah tinggiku dan lupa pula berdiet maka secara mendadakpun bulan Juni 2000 akupun terserang storke ke 2 kali, kali ini aku tak dapat berjalan normal, agak diseret, dan ada rasa sakit di tungkai kiriku. Ditengah malam istriku membawaku ke RS Imanuel seorang diri dengan segala daya dan upaya demi tertolongnya diriku.


Dan berturut-turut pada bulan September 2000 kembali serangan itu datang selanjutnya bulan Nopember 2000 tanpa kusadari mengapa ada lagi serangan-serangan stroke berturut-turut yang semakin melemahkan kondisi badanku, yang membuat jalanku semakin berat langkahku. Batu empedu yang bersarang di tubuhku akhirnya dioperasi oleh dr. H. Warko Sp B. Pada tahun 2006 Desember aku pensiun muda sehingga bebas dari pekerjaan dinasku. Namun proses berjalan terus ditambah proses penuaan juga yang akhirnya menimpa ginjalku yang mulai tidak berfungsi dan diputuskan menjalani hemodialisa sejak 5 tahun yang lalu. Selama itu pula istriku yang selalu mengantarku pulang pergi masuk keluar RS tak pernah menyerah berjuang demi sembuhnya diriku, katanya : “Saya harus tabah dan tidak boleh kelihatan lemah dimana bisa mempengaruhi anak-anak dan suami yang akan menjadi lemah pula menghadapi situasi seperti ini” Dengan penuh kasih dirawatnya diriku. Akhirnya supaya tidak bolakbalik cuci darah aku memutuskan untuk memakai cara CAPD (Continuous Angulation Peritoneal Dialisa) dimana dapat mengganti sendiri cairan pencuci darah di rumah. Akupun menjadi orang tak berdaya, kehidupanku bergantung pada orang lain terutama anak istriku, namun keinginanku untuk bisa berjalan normal kembali sangat besar berkat dorongan mereka. Suatu hari lubang herniaku membesar karena tekanan kantong cairan pencuci darah (dialisa), akupun harus menjalani operasi lagi, sekali lagi istrikulah uang membawaku ke RS, kali ini RSHS.

Sementara anak-anak mulai kuliah dan Tesa mulai masuk sma, Januari 2011 kejadian berulang, setelah menderita diare dan dirawat di RSTMC aku merasakan ada yang tidak beres pada kakiku yang semakin berat dan bengkak. Akhirnya aku dilarikan kembali ke RS Imanuel Bandung dengan ambulance. setelah menerima Sakramen Perminyakan yang kesekian kalinya. Ternyata stroke lagi. Apalah dayaku. Akupun sudah tidak sanggup menopang tubuhku untuk mandi dan b a k serta bab membutuhkan bantuan, istrikupun tidak kuat menopang tubuhku sendirian. Bagian kiri tubuhku sulit digerakkan setelah serangan stroke yang ke 5 ini. Rasanya aku tak sanggup hidup lagi. Bicaraku agak rero. Akhirnmya setelah keadaan tenang akupun kembali ke rumah. Belum habis penderitaanku akupun harus dilarikan kembali ke RSTMC karena sakit dada. Setelah 10 hari pulang dan harus memakai tempat tidur yang bisa diatur posisi tegaknya badan. Harapanku untuk bisa berjalan kembali kusadari telah musnah. Hanya tergolek di tempat tidur apalah dayaku. Kupasrahkan semuanya pada Tuhan pada Allah Sang Pencipta. Dari padaNyalah aku hidup dan kepadaNyalah aku kembali pula. Tuhan tolonglah hambamu ini.

Kekuatan yang datang hanya dari Tuhan, kalau diri sendiri rasanya tidak mungkin bisa melakukan semua ini, demikian pengakuan Bu Dede istri dr. Djoni Fajar. Doa Angelus, Malaikat Tuhan yang selalu didaraskannya setiap hari: Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu, inilah yang memperkuat dirinya dalam menghadapi masalah yang selalu datang dalam kesehatan suaminya, dia menerima dan rela bahwa sudah jadi kehendakNyalah semua ini, makan dengan penuh kasih dirawatnya dihiburnya disemangati olehnya sang suami tercinta. Istri yang tabah ini rasanya tak pernah berhenti menyerah berjuang dalam ketabahan hatinya menghadapi ketidakberdayaan sang suami.
Semoga Tuhan menolongnya. Amin.


Written by dr. Patricia H.©2011.02.11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

            

Need something

Creative Commons License
Paguyuban Lansia Santa Monica by DeeColoay is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.
Based on a work at stmonicahkyt.blogspot.com
.