Jumat, 16 Maret 2012

Sabar Menanti Waktu Tuhan

Lokasi: Tasikmalaya, Indonesia


84 tahun yang lalu tepatnya 22 Agustus 1928 ibu Ambrosia Tjitrawati (terlahir Tan Tjen Niang) atau yang lebih akrab dipanggil tante Lay Kie pen dilahirkan di Tasikmalaya. Anak pertama dari 5 bersaudara putra putri Tn Ny Tan Joen Liong, umat Katolik yang berasal dari Bandung hijrah ke Tasikmalaya bekerja di perkebunan karet didaearah Sukaraja Cibalong, menikah dengan Oom Lay Kie Pen pada 23 September 1946. Keluarga Katolik tersebut kerap menghimpun teman2 umat Katolik untuk mengadakan Ekaristi  di rumah kontrakan di Jl. Seladarma 10 sejak tahun 1937. 


Bapak & Ibu Lay Kie Pen (Foto 1989)

Penuh likaliku susah payah mencari tempat untuk beribadah, akhirnya bergabung dengan sekolah Minerva yang didirikan 1945 merupakan cikal bakal sekolah Yos Sudarso Tasikmalaya. Kecintaan mereka dan kerinduan untuk menyambut tubuh dan darah Yesus dalam Perayaan Ekaristi membuat umat Katoklik semakin guyub dalam komunitas yang makin berkembang. Diantaranya Ibu Christina Yohana yang ikut kakaknya ke Tasikmalaya merupakan teman dekat Tante Lay Kie Pen, menemukan jodoh Bapak Umar di Tasikmalaya, akhirnya popular dengan sebutan ibu Umar sekarang ini. Bahkan Misa Pagi sudah ada sejak saat itu dan Ibu CuCu adik kandung Tante Lay Kie Pen yang sering mengikuti Misa pagi bersama ibu Umar. Teman seangkatan mereka adalah Ibu Selawinata, ibu Maruf, Ibu Darmo bersama almarhum bapak2nya, Bapak Ibu Wijaya, dst. Mengalami pasang surut perkembangan Gereja Katolik Tasikmalaya yang akhirnya menempati bangunan di Jl, Sutisna Senjaya 50 sampai sekarang ini dengan Bapak FX Anta yang berkutat di sekretariat mencatat setiap permandian, perkawinan, kematian, pepindahan umat Katolik hingga sekarang ini sudah ada base data yang semakin lengkap.

Pada 10 November 1994 Bapak Lay Kie Pen menghadap kehadirat Ilahi dalam usia 80 tahun. Sayang mereka tidak dikaruniai anak, hanya ada seorang anak angkat yang setelah menikah tinggal di rumahnya sendiri, adik-adik Tante juga sudah pindah ke Jerman, Singapura, Jakarta, Bekasi. Sikapnya yang kukuh tidak mau merepotkan orang membuat Tante tinggal dirumahnya sendirian sampai akhir hayatnya.

Penulis mengenal Tante Lay Kie Pen 12 tahun yang lalu, ketika itu beliau masih bisa berjalan sendiri tanpa tongkat setiap hari minggu ke Gereja mengikuti Perayaan Ekaristi walau sudah agak bungkuk. Beberapa tahun kemudian beliau mulai memakai tongkat di tangan kanannya, kadang ditemani seorang suster. Proses penuaan termasuk osteoporosis terus berlangsung membuat punggungnya semakin bungkuk dan susah berjalan sehingga diganti dengan tongkat berkaki 4. 

Sebenarnya tidak ada penyakit lain pada dirinya yang selama ini merasa sehat-sehat saja, membuat dirinya merasa kuat, sehingga pada suatu hari 2 tahun yang lalu karena suster pulang dan tidak mau ditemani siapapun beliau terjatuh di kamar mandi semalaman tergeletak karena tidak kuat berdiri. Namun semangatnya untuk ke Gereja tak pernah padam. Bahkan selalu hadir dalam pertemuan lansia setiap  minggu ke 3 setiap bulan, kalau beliau tidak hadir pastilah ada yang tidak beres seperti ketika terjatuh di kamar mandi. Tatanan rambutnya selalu bagus disasak karena rambut menipis akibat proses penuaan. 

Pernah suatu ketika Tante datang ke Gereja dengan tatanan rambut yang kurang rapi, menunjukkan kemampuan fisiknya semakin menurun, namun tetap berusaha hadir dalam pertemuan lansia di aula, dengan susah payah memakai tongkat menuruni tangga, tertatih-tatih berjalan menuju aula. Dalam setiap acara permainan, gerak badan, menyanyi maupun pekerjaan tangan mengikuti dengan sekemampuannya, semangat yang tak pernah padam untuk bertemu dan berkumpul bersama teman sesama lansia yang dapat mengisi kekosongan hatinya, memberi penghiburan walau hanya beberapa jam saja. 

Oma Lay Kie Pen mendapat karangan bunga dari Rm. Maman

Beliau selalu mengatakan: “ya doctor, sudah tua begini mau apa? Maaf merepotkan saja harus menuyun-nuyun saya, saya senang dapat ikut kegiatan lansia ini ya sebisa mungkin karena tubuh sudah tua”. Lalu tersenyum-senyum menyaksikan ulah teman-teman yang masih kuat bersenam ringan maupun lomba-lomba menghias telur, 17-an, menghias tumpeng mini, Natalan dlsb diikutinya dengan sabar sampai acara selesai. Beliau tidak pernah mengeluh sakit ini sakit itu pegal atau kepala pusing dll namun menyadari tubuhnya semakin renta, berjalan semakin melambat.  

3 bulan terakhir ini beliau absen pada pertemuan lansia  dan tidak menghadiri Perayaan Ekaristi, karena sakit. Ternyata beliau jatuh sewaktu hendak turun dari tempat tidur dan tidak bisa berjalan, tungkai kirinya sakit alau digerakkan. Maka segala sesuatu dilakukan di tempat tidur sembari telentang karena tidak bisa miring kekiri atau kekanan. Dibawa berobat ke dokter tidak mau, ga apa2 katanya. Setelah 2 minggu suster mengeluh bahwa punggung bawah ada luka yang tidak mau kering. Ketika penulis datang, melihat keadaannya kemungkinan ada patah tulang pinggul kiri. Setelah dikonsulkan ke spesialis tulang, tetap harus di rontgen untuk memastikan sebelah mana yang patah. Mau tidak mau sambil kesakitan dan berteriak tubuhnya diangkut dengan ambulans di rontgen di RS Jasa Kartini, ternyata benar ada patah di pergelangan tulang pergelangan paha dan aus di tulang pinggul kiri sehingga kalau mau tidak sakit harus dilakukan operasi mengganti tulang-tulang tersebt, namun Tante tidak mau dioperasi karena takut nanti malah meninggal di meja operasi, sudahlah disini saja sampai Tuhan menjemput saya….

Berulang kali kami membujuknya supaya beliau tidak kesakitan terus, namun apa daya Tante tidak bersedia dioperasi, hanya minum obat penahan rasa sakit. Akhirnya lubang di punggung bawahnya makin membesar dan berbau yang memaksa beliau dibawa ke TMC pada tanggal 22 Pebruari 2012. Disamping itu tubuhnya semakin ringkih dan lemah karena makanan yang masuk terbatas akibat menahan sakit dan infeksi lukanya. Setiap berkunjung kami selalu menghiburnya dan berdoa bersama. “Terima kasih, sudah merepotkan saja.” Selalu begitu, ujarnya. 

Sewaktu masih sadar beliau minta dibawakan rosarionya yang tertinggal di kamarnya. Semakin lama semakin melemah kondisi fisiknya lalu kesadarannya menurun, kesabarannya dan ketabahannya dalam menanti waktu Tuhan sungguh nyata dalam hidupnya. Akhirnya terjatuh dalam coma dan memasuki masa kritis, tensi semakin menurun, beberapa hari kemudian tepatnya 10 Maret 2012 beliau menghadap ke hadirat Ilahi pukul 05.00 WIB. Selamat jalan Tante…

Senin 12 Maret diadakan Misa Requim di Gereja Hati Kudus Yesus Tasikmalaya, dengan penuh haru umat dan sanak saudara menghantarnya ke tempat kremasi di Cisapi.
Tuhan selalu dengar doamu! Tuhan tak pernah tinggalkanmu! PertolonganNya pasti ‘kan tiba tepat pada waktuNya. Bagaikan kuncup mawar pada waktunya mekar. Percayalah… Tuhan jadikan semua indah pada waktuNya. Hendaklah kita s’lalu hidup dalam firmanNya. Percayalah kepada Tuhan! Nantikan Dia bekerja pada waktuNya. Tuhan takkan terlambat, juga tak akan lebih cepat. Ajarilah kami setia s’lalu menanti waktuMu Tuhan. 1Korintus 10:13 & Pengkotbah 3:11a.

Ibu Lay Kie Pen berpesan hendaknya kaum muda rajin ke Gereja mengikuti Perayaan Ekaristi. Semoga Gereja Katolik di Tasikmalaya tetap maju terus, begitulah harapannya. Semangatnya yang tak pernah padam mengikuti Perayaan Ekaristi setiap hari Minggu dan mengikuti kegiatan lansia dalam keadaannya yang terbatas membuat penulis kagum dan terinspirasi untuk membuat kegiatan lansia yang dapat menggembirakan hati para lansia serta menggugah semangat tatkala rasa jenuh melanda atau semangat menurun dalam pembinaan pemberdayaan lansia di Paguyuban Lansia Santa Monica Paroki Hati Kudus Yesus Tasikmalaya ini. Semoga Tante berbahagia di Surga……. 

Written by dr. Patricia H.©2012.03.16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

            

Need something

Creative Commons License
Paguyuban Lansia Santa Monica by DeeColoay is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.
Based on a work at stmonicahkyt.blogspot.com
.